Tak ubahnya cuaca di daerah pegunungan yang tak butuh waktu lama tuk berubah, beberapa Bos di Metro TV pun menunjukkan peringai yang sama, setali tiga uang. Shift kerja para Bos yang terhormat itu sih, sebenarnya sudah jelas. Empat shift dalam sehari.
Nah, yang sering berubah itu, yakni sikap beberapa Bos terhormat itu. Mungkin karena dikejar dealine yang sebenarnya hanya mengejar jika sering diulur hingga kerap mengejar, beberapa Bos pun seringkali kehilangan sense of humanity-nya. Rasa untuk memanusiakan para kontributor, bawahannya, bukan budaknya.Tak ada angin, tak ada badai, tanpa ba apalagi bu, dan tentunya tanpa memperhatikan lagi perasaan kontributor yang diteleponnya, seorang Bos dengan ketusnya mengumbar kekuasaannya. “beritanya mana!” sebuah kalimat tanya yang seharusnya tidak harus diakhiri dengan tanda seru, namun karena intonasinya yang terdengar lain dengan kalimat tanya, terpaksa harus diakhiri dengan(!). “gambarnya feeding skarang!” “bagaimana caranya seh, kok naskahnya belum diemail!” Itulah beberapa kalimat yang bukan sesekali mereka umbar dengan nada yang bikin telinga kami, para kontributor, jadi merah, semerah amarah yang agaknya hampir mencapai titik jenuhnya.
Bodoh rasanya bila kami, para kontributor, menolak caci dan maki bila itu bermula dari tingkah dan laku kami sendiri. Tapi bodoh pula rasanya bila segala tanggungjawab telah terlaksana namun amarah dan umpatan masih tetap ditujukan pada kami. Tanpa pemberitahuan, seorang Bos dengan entengnya menyuruh kami tuk mengirim gambar dan naskah berita yang beberapa jam sebelumnya telah kami laporkan ke mereka. Lucunya, setelah sebelumnya seakan mengabaikan laporan kami, seperti upper cutnya Mike Tyson, permintaan Boss datang tiba-tiba dan hanya menyisakan sedikit waktu sebelum berita yang mereka minta, hendak ditayangkan. Tentunya dengan segala keterbatasan waktu, kami pun harus bekerja ekstra cepat. Di saat seperti itu, kami malah mendapat ‘sokongan spirit’ berupa perintah maupun bentakan yang sebenarnya malah lebih baik agaknya bila disampaikan tidak dengan kalimat yang harus diakhiri dengan tanda seru dibelakangnya.
Kami sadar diri. Kami tahu diri. Hubungan kami dengan stasiun Metro TV, sebuah stasiun berita pertama di indonesia, hanyalah hubungan pemberitaan semata. Tak ada segala macam tetek bengek yang mengikat kami dengan kantor, kecuali sebuah ID card yang menandakan kami, para kontributor ini, orang-orang yang mendapat upah setelah memberi kontribusi berita, adalah bagian dari Metro TV. Itu pun bila kontribusi berita kami ditayangkan, 200 ribu rupiah per berita.
Rindu rasanya dengan keberadaan Mas Andi, Mbak Rika ataupun Mas Pascal, para korda yang selalu memposisikan kami sebagai manusia, bukan sebagai tempat sampah yang harus pasrah menampung ‘sampah’ yang keluar dari mulut. Bukan pula sebagai buruh yang hanya bisa pasrah dibentak dan diposisikan sebagai objek pelengkap penderita. Mas andi dengan pendekatan pertemanannya. Mbak Rika yang tegas tapi tak pernah kehilangan kesantunan serta Mas Pascal lewat canda jenakanya. Ah, andai semua Bos bisa memanusiakan kami, para kontributor, sebagaimana yang dilakukan Mas andi, Mas pascal ataupun Mbak Rika. Andai…